Pandangan Islam Tentang (Umat) Agama Lain; Perspektif Normatif

KH. Afifuddin Muhajir

Oleh: KH. Afifuddin Muhajir

[Wakil Pengasuh PP Sukorejo Asembagus Situbondo]. Makalah dipresentasikan pada “Workshop Islam Dan Pluralisme” kerja sama The WAHID Institute Jakarta-GKI Jawa Timur, 5-8 November 2007, di Pacet Mojokerto Jawa Timur.

 

Penulis hendak mengatakan, bahwa inti dari beragama adalah ketundukan, yakni tunduk kepada apa saja yang menjadi aturan dan ketentuan Tuhan tanpa harus tahu lebih dulu tujuan dan hikmahnya. Hal ini dalam istilah lain disebut ta’abbud (ibadah).

Aturan dan ketentuan Tuhan ada dua :

  1. Ketentuan dan aturan yang harus ditaati oleh alam materi, seperti bulan dan matahari.

  2. Ketentuan dan aturan Tuhan yang harus ditaati oleh manusia sebagai makhluq Tuhan yang terdiri dari materi dan ruh.

Dalam kenyataan, alam materi lebih tunduk pada aturan Tuhan dari pada manusia. Bisa dikatakan, bahwa alam materi tidak pernah durhaka kepada Tuhan.

Ketundukan manusia pada aturan dan ketentuan Tuhan lahir dari mahabbah (rasa cinta), dan mahabbah lahir dari ma’rifat, yakni keyakinan dan pengetahuan tentang Tuhan sebagai dzat yang berhak untuk disembah dan ditaati.

Ma’rifat sendiri dari mana datangnya? Para ulama membagi ma’rifat kepada dua bagian: ma’rifat ta’rîf dan ma’rifat ta’arruf.

Ma’rifat ta’rîf ialah ma’rifatnya kaum intelek (ilmuwan, mutakallimin, dan filosof) yang diperoleh melalui tafakkur dan renungan akan ciptaan-ciptaan Allah. Sedangkan ma’rifat ta’arruf ialah ma’rifatnya kaum sufi yang diperoleh melalui mujâhadah, membersihkan jiwa, dan hati dari kotoran dan dosa. Ma’rifat ta’rîf dianggap sebagai ma’rifat kelas dua karena pemiliknya hanya bisa melihat dalil, tidak bisa melihat madlul atau hanya bisa melihat ciptaan (akwân), tidak bisa melihat penciptanya (mukawwin).

Di era ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, kajian tentang eksistensi Tuhan banyak dilakukan ilmuwan (scientist) Barat dan ternyata hasil kajian mereka tentang Tuhan tidak berbeda dengan yang ada di dalam kitab-kitab suci, termasuk al-Qur’an. Sebagai contoh, penulis kemukakan pernyataan beberapa pakar ilmu pengetahuan Amerika sebagai berikut :

  • Claude M. Hashway: “Alam semesta ini tidak lain adalah sebuah gumpalan yang tunduk pada sistem tertentu. Dengan demikian, alam ini butuh pada sebab pertama (al-sabab al-awwal) yang tidak tunduk pada hukum termodinamika yang kedua dan sudah barang tentu sebab pertama itu immaterial (lathîf)”.

  • John Adolf Baoer: “Kita tidak ingin terjebak dalam kesalahan seperti dialami orang-orang kuno, dengan meyakini banyak Tuhan untuk mendapatkan penafsiran terhadap hal-hal yang tidak jelas, di mana masing-masing Tuhan memiliki kekuasaan tertentu dan tugas tertentu. Setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan dan ketika fenomena alam yang dulu gelap sudah dapat dipahami dan hukum-hukumnya telah diketahui, manusia tidak lagi memerlukan banyak tuhan yang dulu mereka buat, tetapi banyak manusia mengingkari wujud Allah justru karena sebab ini”.

  • Andrew Conway Aigea: “Saya telah mengkaji sifat-sifat Allah secara panjang lebar dengan basis logical analysis seperti yang dilakukan para filosof. Dan dengan menggunakan logika, bisa dicapai kesimpulan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat tertentu. Berikut ini dikemukakan tidak secara lengkap beberapa sifat Allah; Allah itu kekal-abadi (bâqi), immaterial (lathîf), tidak baharu (qadîm), maha suci…..Haq, Maha Tahu (‘alîm), berkehendak (murîd), …sumber segala kebaikan.”

Berhubung keberagamaan seseorang dibangun di atas dasar keyakinan, maka logikanya tidak boleh ada paksakan dalam agama, tidak boleh ada paksaan untuk meyakini atau tidak meyakini suatu agama. Hal ini merupakan salah satu prinsip dalam agama Islam. Al-Qur’an meyatakan: “Apakah kamu hendak memaksa manusia agar mereka menjadi mukmin” (Qs.Yunus : 99)

Hal lain yang mutlak harus dijadikan prinsip umat beragama adalah prinsip toleransi (al-tasamuh). Ini berangkat dari kesadaran bahwa segala perbedaan, termasuk perbedaan dalam beragama, merupakan fitrah kemanusiaan. Mengingkari perbedaan berarti mengingkari fitrah. Sejalan dengan fitrah itu, al-Qur’an menyatakan: “Barang siapa mau beriman silahkan beriman, dan barang siapa mau kafir silahkan kafir” (Qs. al-Kahfi : 29). Dengan prinsip toleransi, maka tidak diperlukan upaya menyatukan agama dan tidak perlu ada usaha menciptakan keyakinan bahwa semua agama benar. Sebaliknya, dengan adanya keyakinan semua agama benar tidak diperlukan toleransi dalam agama.

Salah satu realitas yang banyak terjadi di atas bumi ini ialah, bahwa pemeluk suatu agama bangga dengan agamanya dan berkeyakinan bahwa agama yang ia anut saja yang benar kemudian berupaya untuk membentengi agamanya itu, misalnya dengan memperkokoh tali ukhuwwah diniyyah di antara sesama pemeluk agama tersebut. Ini sah-sah saja bahkan logis dan rasional. Yang tidak logis dan tidak rasional bahkan berbahaya adalah bila orang yang meyakini suatu agama membenci dan memusuhi agama lain, apalagi sampai menghalalkan darah dan harta penganut agama lain. Meski ini tidak masuk akal dan berbahaya, tapi banyak orang yang melakukannya. Termasuk dari kalangan umat Islam, bahkan sebagian menganggap bahwa dengan aksi seperti itu, mereka telah ber-taqarrub ila Allâh (mendekatkan diri kepada Allah). Boleh jadi maksud mereka baik, tapi yang terjadi sebaliknya. Mungkin maksud mereka ingin memoles wajah agamanya agar tambah anggun, tapi malah mencorengnya. Maklum, pada umumnya mereka hanya punya modal semangat, sementara pengetahuan yang cukup tentang agamanya tidak mereka miliki secara memadai.

Adalah runyam bila agama mengajari pemeluknya membenci atau menyerang pemeluk agama lain yang tidak bersalah. Apa jadinya bila pemeluk agama lain itu keluarganya sendiri; bapaknya, pamannya, kakeknya, atau yang lain. Islam sendiri tidak melarang pemeluknya sengaja memiliki paman, kakek, atau nenek yang beragama lain. Perlu disimak ajaran al-Qur’an tentang hal ini: “Dan jika keduanya (bapak dan ibumu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak punya pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti (kemauan) mereka, dan temanilah mereka di dunia ini dengan baik“. (Qs. Luqman : 15).

Dalam Islam ada sebuah istilah yang mungkin bisa membuat penganut agama lain tersinggung, yaitu istilah “kafir”, tapi sekiranya istilah ini dipahami makna dan maksudnya pasti tidak akan ada yang tersinggung apalagi marah. Kafir berarti orang yang mengingkari atau tidak mengakui. Kafir dengan pengertian ini tidak selalu melekat dengan orang non-Muslim, tapi juga bisa menjadi sifat bagi Muslim sendiri. Sebagai contoh al-Qur’an menyatakan: “Barang siapa kafir kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang pada tali yang kokoh“. (Qs. al-Baqarah : 256).

Kafir dengan arti mengingkari yang dialamatkan kepada orang-orang non-Muslim bisa dibagi kepada tiga bagian :

  1. Mulhid (atheist), yaitu orang-orang yang mengingkari adanya Tuhan.

  2. Musyrik (polytheist), yaitu orang-orang yang mengingkari ke-Esa-an Tuhan atau meyakini adanya lebih dari Satu Tuhan atau Tuhan Yang Satu.

  3. Ahli kitab (kitaby), yaitu orang-orang yang meyakini ke-Esa-an Tuhan dan mengingkari kerasulan Muhammad atau tidak mengkui kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah.

Dalam agama Yahudi dan Nasrani, sepanjang pengetahuan penulis, tidak berkembang istilah kafir yang dialamatkan kepada orang-orang Muslim. Mungkin karena dalam dua agama ini tidak ada hal-hal prinsip yang tidak diakui oleh kaum muslimin, seperti kerasulan Musa dan Isa dan eksistensi kitab Taurat dan kitab Injil sebagai wahyu Allah. Bahkan bagi kaum muslimin, meyakini kerasulan Musa dan Isa serta Taurat dan Injil sebagai kitab yang datang dari Allah merupakan salah satu rukun asasi bagi keimanan dan keislaman seseorang. Artinya seseorang tidak diakui sebagai orang mukmin atau muslim tanpa iman kepada Musa, Isa, Taurat, dan Injil.

Dari aspek lain, kafir (non muslim) dalam konsep fiqh dibagi menjadi tiga bagian:

  1. Harby, yaitu non muslim yang terlibat permusuhan dengan kaum muslimin.

  2. Mu’âhad, yaitu non muslim yang terikat komitmen dengan kaum muslimin untuk tidak saling bermusuhan.

  3. Dzimmy (ahlu dzimmah), yaitu non muslim yang berdomosili di negara Islam.

Kalau ada yang beranggapan bahwa istilah ahlu al-dzimmah merupakan ungkapan sinis atau merendahkan, maka anggapan itu tidak benar karena makna ungkapan tersebut ialah orang-orang yang mendapatkan perlindungan Allah, perlindungan Rasulullah dan perlindungan kaum muslimin. Akan tetapi, kalau ada yang keberatan dengan ungkapan itu sebaiknya istilah itu dihilangkan saja. Karena itu tidak prinsip dan bukan istilah baku di dalam al-Qur’an atau al-Sunnah. Yang baku pun kalau mengundang masalah juga, bisa dibuang seperti istilah jizyah. Istilah ini tidak digunakan oleh Sayyidina Umar ibn al-Khattab (Khalifah ke 2 setelah Abu Bakar) setelah Nashara Bani Taghlib keberatan dengan istilah tersebut. Dari pada istilah jizyah, mereka lebih suka istilah “shadaqah” untuk sumbangan wajib yang harus mereka bayarkan kepada negara meskipun jumlahnya harus dua kali lipat dari jizyah. Mengomentari kemauan mereka, Umar ibn al-Khattab berkata: “Mereka itu bodoh, pada isinya mereka mau pada kulitnya tidak mau”.

Islam adalah agama rahmah dan ramah. Hal ini dinyatakan sendiri secara langsung di al-Qur’an: “Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam”. (Qs. al-Anbiya: 107). Ini tidak berarti bahwa Islam harus selalu tampil manis, lemah lembut dan selalu menurut kepada setiap kemauan orang. Dalam kondisi tertentu, Islam perlu tampil tegas, bahkan kadang-kadang Islam terpaksa tampil keras ketika ada pihak yang lebih dulu melakukan kekerasan yang hanya bisa diatasi dengan kekerasan. Oleh karena itu, dalam Islam ada konsep jihad yang salah satu artinya ialah qitâl (perang fisik).

Jihad pada mulanya dalam arti berpayah-payah dengan melakukan sesuatu untuk mencapai suatu kebaikan bagi diri sendiri atau orang lain. Selain jihad, ada istilah mujâhadah. Dua istilah ini berasal dari akar kata yang sama, yaitu jahd (payah/berat). Akan tetapi, istilah yang kedua (Mujâhadah) lebih banyak digunakan dalam pengertian berjuang atau berperang melawan keinginan hawa nafsu, seperti melawan keinginan untuk korupsi, mencuri, berzina, melawan kecenderungan nafsu untuk tidak berbuat baik kepada orang lain.

Berperang melawan nafsu sangat berat, lebih berat dari berperang melawan orang. Oleh karena itu, Nabi Muhammad mengatakan, perang melawan nafsu sebagai jihad besar (al-jihad al-akbar). Jihad fisik juga berat karena berpotensi besar bagi terjadinya penderitaan dan kematian. Sementara manusia pada umumnya lebih suka hidup dari pada mati. Orang yang lebih suka mati dari pada hidup adalah manusia luar biasa. Orang semacam ini ada kalanya karena putus asa, merasa tidak punya masa depan, dan ada kalanya karena ingin segera menikmati masa depan setelah kematian yang diyakini jauh lebih baik. Pinjam istilah Siti Rabi’ah Adawiyah; ingin segera bertemu dengan Tuhannya. Bagi manusia yang normal, dari agama apapun termasuk dari kalangan kaum muslimin, perang merupakan sesuatu yang sangat dibenci. Sekiranya tidak ada tujuan suci yang bermanfaat bagi kemanusiaan tentu perang tidak perlu dilakukan. Dalam hal ini al-Qur’an menyatakan: “Diwajibkan kepadamu berperang, padahal berperang itu kamu membencinya. Boleh jadi kamu membenci sesuatu sementara sesuatu itu sangat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal hal tersebut sangat buruk bagimu.” (Qs. al-Baqarah: 216).

Pada mulanya jihad dalam arti perang fisik dilarang dalam Islam. Di saat-saat sebelum izin berperang keluar, kaum muslimin selalu diperintahkan untuk sabar dan tabah menghadapi penindasan dan keganasan kaum musyrik Makkah. Izin itu baru turun setelah lebih dari 10 tahun dari kenabian, yakni setelah Nabi hijrah ke Madinah. Keluarnya izin tersebut ditandai dengan turunnya firman Allah: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka benar-benar telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar kecuali hanya karena mereka berkata: “Tuhan kami adalah Allah”. Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentunya telah dirobohkan biara-biara Nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Dan pastilah Allah menolong orang-orang yang menolong-Nya. Sungguh Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (Qs. al-Hajj: 39-40).

Jihad yang kadang terpaksa dilakukan itu memiliki rambu-rambu amat ketat yang wajib ditaati oleh kaum muslimin. Rambu-rambu itu kebanyakan berupa larangan-larangan, seperti larangan berkhianat, memotong-motong anggota tubuh, memotong pohon, merobohkan bangunan, membunuh anak kecil, perempuan dan orang yang sudah tua.

Akhirnya, penulis hendak mengatakan bahwa beberapa tindak kekerasan seperti pengeboman yang akhir-akhir ini dilakukan oleh oknum umat Islam atas nama membela Islam, sesungguhnya bukan jihad tetapi jahat. Dan jelas bukan Islam yang menyuruhnya. Islam justru berkata kepada mereka bi lisâni hâlihi: Kamu jahat dan berhak dihukum. Wallahu A’lam.[]

4 respons untuk ‘Pandangan Islam Tentang (Umat) Agama Lain; Perspektif Normatif

  1. Secara pribadi….saya membaca semua artikel diatas,memang tidak ada agama yang mengajarkan kebencian sesama manusia yang berbeda agama,sungguh mulia semua saling menjaga kerukunan serta toleransi antar umat beragama,

Tinggalkan Balasan ke investasi online Batalkan balasan