Kebebasan Beragama Dikorupsi: Diskusi di UIN Jogja

““Bukan saja kebebasan beragama, kebebasan bertafsir sekalipun tidak mendapatkan dukungan penuh dari mayoritas umat Islam”. Demikian pernyataan kritis Abd. Moqsith Ghazali dalam Seminar Sehari Jaringan Islam Liberal (JIL) bekerjasama dengan Community for Religion and Social engineering (CRSe) Yogyakarta, 04 Mei 2006 lalu. Seminar yang bertema “Kebebasan Beragama Perspektif Agama-Agama” ini menghadirkan Prof. Dr. H. Machasin, Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, dan Dr. George Junus Aditjondro, pengamat politik dari Yogyakarta, sebagai pembicara.  Menurut guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Machasin, perbincangan perihal kebebasan beragama dibutuhkan ukuran yang jelas untuk menilai serta siapa yang mewakili. Menurutnya, Islam tidak bisa diwakili oleh satu lembaga tertentu. “Karena itulah, ketika menyebutkan kata perspektif Islam dengan menyuguhkan sejumlah ayat dan hadist, harus dipertanyakan kembali apakah itu benar-benar perspektif Islam ataukah hanya sekedar perspektif Mahasin”, tandasnya.

Pada diskusi yang berlangsung di aula II UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini Mahasin juga menyinggung tentang identitas agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurutnya, identitas agama dalam KTP sangat merepotkan catatan sipil. Pencantuman itu menurutnya tidak diperlukan. Sebab, hal itu merupakan hak; hak untuk berkafir ria atau beriman. “Ini penting, karena agama sesungguhnya merupakan sebuah kebebasan”, tandasnya.

Dengan mengutip QS. 2: 256, Mahasin menegaskan bahwa manusia memiliki hak untuk menentukan beragama atau tidak. Akan tetapi, ada hadist nabi yang menyebutkan bahwa orang yang pindah agama harus dibunuh. Hadist ini berlaku untuk umum. Karena itulah, non-muslim yang pindah ke agama lain harus dibunuh juga.

Argumen teologis yang dihidangkan oleh Pak Mahasin mendapat rincian (syarah) dari pembicara kedua, Abd. Moqsith Ghazali. Menurutnya, konsep kebebasan beragama dalam Islam yang didasarkan pada QS. 2:256 oleh Machasin akan menjadi masalah ketika membaca ayat berikutnya. Di sana disebutkan bahwa sungguh sangat jelas antara yang haq dan bathil. Dan seluruh tafsir al-Qur’an memberikan perincian bahwa yang dimaksud dengan haq adalah Islam. Maka, di luar Islam masuk dalam kategori bathil. “Dari sinilah sebenarnya kebebasan beragama dalam Islam menghadapi masalah besar”, ucap aktivis JIL ini.

Hal tersebut menjadi sangat jelas ketika membaca Islam dalam aspek sejarah. Abu Bakar, sahabat pertama nabi, misalnya, mula-mula langsung membunuh orang-orang yang diklaim murtad. Begitu pula sejumlah kasus lainnya yang menimpa Al-Hallaj atau Ibn Rusyd yang divonis kafir oleh kalangan Islam lainnya.

Dari situlah terdapat paradoks dalam Islam. Pada satu sisi Islam memberikan kebebasan dalam beragama (QS. 2:256), tetapi pada sisi lain Islam justru menganjurkan pemeluknya untuk membunuh orang-orang non-muslim. Maka, untuk menghadapi itu Muhammad Ibrahim Al-Asfahani telah memberikan pernyataan yang sangat inspiring.

Menurutnya, prinsip dasar di dalam Islam adalah kebebasan beragama. Sehingga, ayat-ayat partikular seperti membunuh non-muslim, murtad, kafir harus ditundukkan oleh ayat-ayat dan prinsip dasar Islam di atas. Sementara itu, dalam konteks Indonesia, kebebasan beragama menghadapi kendala yang tidak ringan. “Sejumlah kasus yang menimpa—seperti—Lia Aminuddin, Ahmadiyah dan lain sebagainya, adalah fakta betapa kebebasan beragama di Nusantara ini masih sebatas teks dalam UUD 45, bukan menjadi realitas yang menyejarah” paparnya. “Padahal, Ahmadiyah telah bertengger di negeri ini jauh sebelum Indonesia merdeka.” Dan, kedatangannya pun bukan hadir dengan sendirinya, tetapi justru dijemput oleh bangsa Indonesia ke India. Mestinya, negara harus memberi perlindungan terhadap rakyatnya yang mendapat perlakuan yang diskriminatif. Sebaliknya, negara justru bertindak sebagai juru kebenaran yang bisa mengklaim dan mengadili keyakinan seseorang. Negara terlampau jauh mengintervensi persoalan-persoalan privat masyarakat kita.

Sementara itu, George Junus Aditjondro banyak mengamati dari aspek sosiologis. Menurutnya, ketika negara mengharuskan warganya untuk beragama, tetapi hanya membatasi pada empat agama (Katolik dan Protestan adalah bagian dari satu agama), maka sebenarnya kebebasan beragama telah disunat dan dikerangkeng. Begitu pula pembentukan Departeman Agama yang melembagakan salah kaprah pembedaan Katolik dan Protestan seolah-olah sebagai dua agama. Di situlah kebebasan beragama dikorupsi. Menurutnya, pemutlakan kemauan mayoritas, khususnya agama mayoritas di tingkat nasional maupun regional, berakar pada kecenderungan masyarakat tradisional yang masih merupakan Gemeinschaff akan penyeragaman (conformity).

Ia menyuguhkan sejumlah kasus yang terjadi terkait dengan kebebasan beragama dan sejumlah aksi kekerasan lainnya, terutama yang menimpa Islam dan Kristen. Sehingga, Aditjondro menyarankan adanya “empati timbal balik” diantara aktivis Kristen dan aktivis muslim. “Aktivis muslim perlu merasakan apa artinya jadi minoritas di negeri ini. Merasakan sulitnya beribadah tanpa rasa takut digusur”, usulnya. “Sementara aktivis Nasrani pun perlu ikut merasakan stigma terhadap aktivis muslim yang terus dipojokkan.”

Akhirnya, Aditjondro berpesan bahwa demi kelangsungan hidup bersama, penyangkalan kebebasan beragama baik secara filosofis ataupun praktis dengan tujuan mengalihkan perhatian publik dari persoalan-persoalan ekonomi dan perebutan kekuasaan politis, hanya akan membawa kehancuran bagi penduduk negara yang berlabel NKRI.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1075

Tinggalkan komentar