Fiqh al-Bi’ah; Fiqh Ramah Lingkungan

Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik..” (QS. al-A’raf/7: 56)

Baru-baru ini banjir bandang melanda Pulau Kalimantan, menenggelamkan ratusan rumah penduduk. Sebelumnya, banjir yang lebih dahsyat telah memporak-porandakan sebagian wilayah Blitar Jawa Timur. Juga wilayah Aceh, pasca diguncang gempa dan Tsunami, terendam banjir. Sedangkan di Jakarta, banjir hampir terjadi setiap tahun. Malapetaka ini disebabkan oleh rusaknya lingkungan dan hancurnya ekosistem alam, krisis ekologi, karena dijahili tangan-tangan rakus manusia. Mereka mengeksploitasi alam tanpa henti. Anehnya, umat beragama cuek saja dengan persoalan lingkungan. Padahal, dampak dari eksploitasi itu sangat parah. Bisa mengamblaskan harta milyaran rupiah dan menelan ribuan korban jiwa. Termasuk juga umat Islam, keberpihakannya terhadap pemeliharaan lingkungan masih kabur.

Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Dalam QS. al-Anbiya’/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.

Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Alam akan menjadi ancaman kehidupan yang serius. Ia senantiasa siap mengamuk sewaktu-waktu.

Fiqh Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini, belum ada fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan lingkungan. Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah Islam klasik.

Karena itulah, merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.

Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-bi’ah), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman/31: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A’raf/7: 56).

Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran berat. Sebab, alam dicipatakan dengan cara yang benar (bi al-haqq, QS. al-Zumar/39: 5), tidak main-main (la’b, QS. al-Anbiya’/21: 16), dan tidak secara palsu (QS. Shad/38: 27).

Kedua, ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu’), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam (2001), bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).

Ketiga, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang. Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan (ri’ayah al-bi’ah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi, menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan Allah.

Keempat, perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah (QS. Shad/38: 27). Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini (QS. Ibrahim/14: 7).

Selain itu, kita perlu memperjuangkan politik hijau (green politic), sebuah gerakan mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang anti-ekologi, mekanistik, dan materialistik diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan (ecological politic). Hal ini penting karena kerusakan alam yang sedemikian parah tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pendekatan agama. Akan tetapi, perlu pendekatan yang komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial bersatu padu menangani krisis ekologis ini.

Al-hasil, menjaga dan memelihara lingkungan adalah kewajiban bagi setiap individu manusia, fardhu ‘ain. [Hatim Gazali]

Sumber: http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=216. Dimuat di Bulletin An-Nadhar P3M, 30/03/2005

10 respons untuk ‘Fiqh al-Bi’ah; Fiqh Ramah Lingkungan

  1. gagasn tentang perumusan fiqh al-bi’ah sudah dilakukan melalui workshop yang diselenggarakan oleh conservation international indonesia bekerja sama dengan pusat pengkajian pemberdayaan dan pendidikan masyarakat (P4M) Jakarta, dan beberapa lembaga lain, yang dilaksanakan di hotel lido lakes hotel, sukabuli jawa barat pada tanggal 9 – 12 Maret 2004, dengan judul “Menggagas Fikih Lingkungan (Fiqh al-Bi`ah)”. workshop dihadiri oleh sekitar 30 orang kiai dari pesantren-pesantren besar utusan berbagai wilayah indonesia. workshop menghasilkan sebuah dokumen berupa pernyataan bersama dari seluruh peserta. kegiatan ini dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan lain, baik nasional maupun internasional. informasi lebih lanjut bisa diperoleh melalui http://www.conservation.or.id atau p4mjakarta@yahoo.com

  2. saya juga ingin menulis sebuah karya ilmiah mengenai fiqh lingkungan. mohon kiranya untuk menginzinkan saya mengutip artikel ini. terima kasih.

Tinggalkan komentar