Tuhan Bukan Pencipta Alam Semesta?

Sejak dahulu kala agama dan sains merupakan dua sistem besar pemikiran manusia dalam menjalani kehidupan. Baik agama dan sains telah tumbuh setua sejarah manusia. Agama sangat berpengaruh dalam perilaku manusia. Sementara sains menyentuh kehidupan manusia melalui hal praktis seperti teknologi. Agama dan sains adalah dua kekuatan yang amat berpengaruh dalam kehidupan manusia.

Oleh karena itu Alfred North Whitehead mengatakan

“ when we consider what religion is for mankind, and what science is, it is no exaggeration to say that the future course of history depends upon the decision of this generation as the relations between them”.

Agama dan sains teramat penting bukan karena keduanya menyajikan jawaban tentang kehidupan sehari-hari, tetapi juga pertanyaan fundamental mengenai eksistensi alam dan isinya. Bagaimana jagad daya diciptakan bagaimana pula ia akan berakhir ? Kapan dan dari apa asal usul manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya dilakukan oleh agama, tetapi sains juga ikut memberikan penegasan artikulatif dalam memecahkan persoalan tersebut. Tegasnya bahwa pertanyaan eksistensial tentang jagad raya (kosmologi) tersebut mendapatkan penegasan dari dua sistem berpikir ini.

Dari sini pula pertentangan antara sains dan agama terdokumentasikan dalam sejarah. Ilmuwan dan teolog mendekati persoalan yang sama tetapi dengan titik berangkat yang berbeda. Sains bekerja berdasarkan atas eksperimen dan observasi cermat, sementara teolog membangun teorinya melalui wahyu dan hikmah kebenaran agama. Perbedaan yang tidak pernah didialogkan ini menimbulkan kritik dari ilmuwan sekaligus pandangan kecurigaan dari para teolog. Mulai dari kasus Galileo (1564-1642), Copernicus (1473-1543), Newton (1642-1727), dan Darwin (1809-1882) sampai era teknologi tinggi saat ini sains modern memberikan pemahaman yang dingin yang seringkali dianggap mengancam kepercayaan-kepercayaan agama. Pada perkembangan selanjutnya timbul suatu pra sangka bahwa sains dan agama tidak bisa disejajarkan dan berdiri secara antogonistik. Perasaan semacam ini terus bertahan selama berabad-abad sampai nanti ada arus baru untuk mendialokan agama dan sains.

Drama kecurigaan dan pertentangan tersebut kembali muncul. Adalah Stephen Hawking, Fisikawan dari Inggris, kembali mengejutkan dunia dengan karya terbarunya bersama Leonard Mladinow, The Grand Design; New Answers to the Ultimate Questions of Life. Tokoh yang terkenal dengan beberapa teori popular dalam bidang fisika seperti teori gravitasi kuantum, lubang hitam dan radiasi Hawking, melalui buku terbarunya tersebut, kembali memberikan tantangan besar bagi umat beragama bahwa alam semesta bukanlah diciptakan oleh Tuhan, tetapi hukum gravitasi mampu mengadakan alam semesta dengan sendirinya dari ketiadaannya. Seakan ingin membantah pada teori fisikawan sebelumnya seperti Newton, Hawking memberikan teori baru dalam menjelaskan proses penciptaan alam semesta yang disebut dengan teori M. Dalam buku tersebut Hawking menulis bahwa

“karena adanya hukum gravitasi, alam semesta bisa dan akan tercipta dengan sendirinya. Penciptaan yang spontan itu adalah alasan mengapa sesuatu itu ada, mengapa alam semesta itu ada, mengapa kita ada.”

Kemudian dilanjutkan dengan

“Tidak perlu membawa-bawa Tuhan seolah-olah Ia yang memicu terciptanya alam semesta”.

Penegasan-penegasan tersebut jelas memberikan hentakan ketidaksepakatan dari kalangan agamawan. Buku baru tersebut hadir di hadapan publik sebagai buah bibir yang controversial. Tidak ayal apabila disebutkan bahwa seakan-akan Hawking telah menabuh kembali perang lama antara sains dan agama. Tentu saja bukan itu tujuan Hawking yang sebenarnya. Hawking harus tetap diposisikan sebagai ilmuwan yang telah berpetualang dalam mencari jawaban misterius dari pertanyaan-pertanyaan alam semesta. Buku yang telah di-release pada awal September 2010 tersebut seakan memberikan peta baru bagi dialog agama dan sains. Lahir secara kontroversial, buku tersebut bisa jadi memberikan warna baru dari pemetaan relasi agama dan sains ala Barbour. Terlepas dari berbagai pro-kontra, buku tersebut tentu saja akan memberikan perspektif baru dalam sains terutama fisika dan akan menimbulkan tafsir baru dari kalangan agamawan. Bagaimana kita memandang karya tersebut?

Karena itu, hadirilah acara Diskusi Buku The Grand Design karya Stephen Hawking & Leonard Mlodinow

Pelaksanaan

Waktu        : Selasa 25 Januari 2011
Jam             : 08.30 – selesai
Tempat     : Theatrical Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga

Pembicara

  1. Lutfi Assyaukanie, Ph.D (Jaringan Islam Liberal)
  2. Syafa’atun al-Mirzanah, Ph.D(UIN Sunan Kalijaga)
  3. Dr. Rer.nat. Muhammad Farchani Rosyid (Fak. MIPA UGM)

Moderator : Budi Hartawan

7 respons untuk ‘Tuhan Bukan Pencipta Alam Semesta?

  1. Ass Wrwb
    Stephen Hawking hanya menerapkan satu kemungkinan tentang swa kemandirian alam semesta. Dia tetap berlandaskan Model bigbang yang masih dianggap yang terbaik. Tampaknya Stephen Hawking masih berpandangan ruang yang mewadahi alam semesta ini tak terhingga dan tak terbatas, walau alam semesta itu sendiri mungkin terbatas. Bagi umat beragama, ya setidaknya saya telah mencoba pendekatan lain dalam menyikapi alam semesta. Kita yang mengaku beriman ini sebenarnya telah terjebak tipu daya syaithon yang membawa kita pada konsep ruang yang tiada terhingga dan tiada terbatas, hingga mengatakan Tuhan tidak memerlukan ruang dan waktu. Kita harus kembali ke Al Qur’an yang secara tegas menyatakan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, segala sesuatu di alam semesta ini berasal dari Allah dan ketika Allah menghendaki akan kembali larut ke dalam Dzat Allah. Semua itu sudah saya tulis dalam buku sederhana yang berjudul Kosmologi yang Sebenarnya, Penciptaan Alam Semesta dalam Enam Masa yang diterbitkan http//:www.pro.indie-publishing.com. Buku itu perlu menjadi pertimbangan para pemikir, kosmolog, ilmuwan, filsuf dan siapa saja yang ingin menyibak rahasia langit dan bumi.
    Wass.
    Mudjiono.

  2. alam semesta berdiri dengan sendirinya, suatu paham yang menurutku masuk akal, banyak orang yang mempersalahkan bahwa alam di ciptakan tuhan, tapi tuhan yang mana dan mencipta yang bagaimana, disinilah letak perbedaan paham. didunia ini banyak kebohongan diciptakan untuk kepentingan pribadi maupun golongan, bercermin diri dengan bekal ilmu yang cukup dapat memahami dan mengerti letak kebohongan itu tersembunyi, melihat yang nyata lebih baik daripada sangka yang tidak jelas asal rimbanya, jujurlah pada diri sendiri itulah jalan terbaik tentang pemahaman kita dengan tuhan, hanya tuhan yang mengenal tuhan, jadilah orang yang berkepribadian baik adalah langkah awal kita dapat mengenal diri. alam semesta berdiri dengan sendirinya, tuhanpun berdiri dengan sendirinya, hanya orang-orang yang berpikirlah yang dapat memahami hakekat diri, alam, dan tuhannya.

  3. Para pembaca nan budiman, bahwa apa yang dikatakan oleh tuan steven, didasari oleh kejujurannya, bahwa ia tak mampu memikirkan Tuhan. Saya kira kita semua sependapat pula dengan beliau bila kita gutapinakan teori-teori sains. Akan tetapi agama dibawa bukanlah oleh para ahli sains, melainkan oleh para nabi, yang melakukan pertapaan/semedi. Dalam suasana hening yang diikuti oleh keadaan fana’, para nabi menemukan alam lain diluar alam semesta ini. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka mengabarkan bahwa kehidupan setelah kematian merupakan kehidupan yang lebih bernilai. Pencipta alam semesta ini adalah rahasia Tuhan, karena Tuhan adalah suatu rahasia. Memang alam semesta terbuat tanpa ada bahan/materi. Jika ada bahan,……………. tentu belum final kita katakan Tuhan yang maha kuasa. Bukankah arti maha kuasa, ialah membuat tanpa bahan?……… Disinilah perbedaan antara Tuhan dan manusia dalam hal “membuat”.

Tinggalkan komentar