Sampai hari jum’at kemaren, Ibra mengawali sekolahnya dengan tangisan. Sementara Arkin sejak hari pertama langsung menikmati sekolah. Mamanya juga resah dengan Ibra yang selalu merengek tiap masuk sekolah. Akhirnya, pada Jum’at malam kita berempat ngobrol (Kenzie gak ikutan ngobrol, hanya main aja) dan membuat kesepakatan.

“Gimana kalau besok beli hot wheels asalkan Ibra tidak nangis nangis?” usulku pada mereka.

“Setuju, papa. Tapi beli hot wheelsnya 2 biji. Ibra dua, Arkin dua”, Jawab Ibra.

“Arkin juga setuju papa”, sergah Arkin.

Tak cukup dengan itu, rupanya Ibra perlu mengajukan syarat lagi.

“Kaos kaki juga ya papa”, usul Ibra.

“Oke, hot wheels dan kaos kaki” jawabku.

Kesepakatan pun dibuat. Ibra akan berhenti menangis di awal masuk kelas, dengan syarat dibelikan hot wheels, masing-masing 2. Deal? sambil menjulurkan jari kelingking sebagai pertanda terjadi kesepakatan.  Dan, kita bersepakat membelinya di hari Sabtu.

Di hari Sabtu, kita pergi ke toko mainan untuk membeli hot wheels. Mereka berdua sibuk mencari model yang disukai. Sesampainya di toko, keduanya terbersit beli spinner.

“Pa, gimana kalau hot wheelsnya satu aja, satunya diganti spinner?” Usul mereka. Aku pun setuju. “Beli dua hot wheels dan spinner juga tak masalah, asal sejak senin nanti Ibra tidak nangis lagi”, jawabku. Sayangnya, tidak ada kaos kaki di toko mainan tersebut.

Hot wheels dan spinner telah dibeli. Aku ajukan syarat lagi ke mereka. Mainan ini aku yang pegang, sampai ibra membuktikan diri tidak menangis di hari senin itu. Anak-anak pun sepakat. Saya simpan mainan itu di tempat yang tak diketahui oleh Ibra

Tibalah pada senin pagi. Sebelum berangkat ke sekolah, Ibra kembali negosiasi, setelah pulang dari sekolah itu mainan itu boleh diambil ya? Saya tak langsung mengiyakan. Ibra mendesak sambil merengek. Saya iyakan. “Mama juga tahu dimana disimpen, nanti mama yang ngasi”, jawabku.

Berangkatlah kita bertiga ke sekolah naik motor. Sayangnya karena saya tidak sedang nyagub, tidak ada wartawan saat saya mengantar anak-anak itu. Pun, karena saya bukan menteri, saya tidak berkunjung ke sekolah untuk memastikan apakah sekolah itu menerapkan 5 hari sekolah atau tidak.

Dan, sesampainya di pintu gerbang sekolah, saya meminta Arkin dan Ibra turun dari motor, sambil aku sodorkan tas mereka masing-masing. Tak seperti hari-hari sebelumnya di mana saya mengantar mereka sampai ke dalam kelas, nungguin mereka selama 5-10 menit. Kini, berkat perjanjian hot wheels itu, Arkin dan Ibra langsung masuk ke sekolah, tanpa ada raut muka sedih dan takut sebagaimana yang sudah-sudah.

“Alhamdulillah, perjanjian berhasil”, pikirku.

Waktu mamanya jemput, Ibra langsung menagih janji mainan itu karena tidak menangis. Namun, karena Ibra terbiasa mengarang cerita, mamanya tidak langsung percaya. Ia tanya ke Arkin, “bener gak Ibra gak nangis”?, “Iya mama”, jawab Arkin. Masih juga belum yakin, akhirnya telpon aku untuk memastikan Ibra tidak nangis. Akupun membenarkan cerita Ibra. Hotwheels pun diberikan.

Namun, masih ada satu perjanjian yang tak tertunaikan: Kaos kaki. Ibra mengusulkan ke Arkin, gimana kalau kaos kaki Arkin diberikan ke Ibra (karena Arkin punya dua kaos kaki yang baru). Awalnya Mamanya keberatan. “Gak apa-apa mama”, jawab Arkin. Kaos kaki Arkin pun dibagi ke Ibra. Lunas juga perjanjian itu.

Hari ini (Selasa, 15/08), juga tidak ada tangisan dari mereka.

Tinggalkan komentar