Feminisme itu lagi…..

Suatu ketika, ada seseorang yang cerita betapa sejumlah aktivis feminis terjebak dalam persoalan keluarga yang akut, terutama dan khususnya soal perceraian. Bagi orang-orang seperti ini, feminisme mungkin mengajarkan bagaimana ia menentang suaminya, bagaimana ia menolak suaminya, dan bagaimana ia bertindak semaunya. Sementara di sisi lain, sang suami tidak mengerti dan memahami secara betul soal feminisme tersebut. Umumnya, istri yang memiliki kesadaran feminisme seperti di atas dengan ditopang kemandirian ekonomi akan lebih mudah minta cerai kepada suaminya.

Bagi saya, feminisme tidak mengajarkan seseorang (dalam hal ini perempuan atau istri) menentang suami. Feminisme bagi saya mengajarkan bagaimana ia membangun kesadaran bahwa kebenaran bukanlah monopoli laki-laki, karena itulah setiap elemen dalam urusan keluarga mesti dikomunikasikan dan dinegosiasikan. Ketika suami mencuci baju dan istri pergi ke kantor tidak mesti sebuah gambaran feminisme. Ketika suami memasak sementara istri bekerja juga tak mesti bernama feminisme. Istri di rumah, memasak, mencuci, mengurus anak juga tak berarti tidak memiliki kesadaran feminisme. Ini penting, karena pembagian kerja antara suami dan istri mesti dinegosiasikan dan dikomunikasikan, sehingga lahir sebuah kesepakatan-kesepakatan.

Singkatnya, feminisme harus berada dalam locus lokalitas kebudayaan bangsa kita.