Taqwa Sebagai Output Puasa

RAMADAN telah bersama kita. Puasa sedang kita jalankan. Pilpres dan pileg pun sudah usai. Namun, ujaran kebencian dan hoaks masih saja merajalela. Sepertinya, mereka ini tidak sedang berpuasa. Jika pun berpuasa, tentu hanya menahan haus dan lapar, sebagaimana yang disabdakan Nabi, banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali haus dan lapar.

Sebenarnya, melalui ibadah puasa kita diajarkan menghentikan sejenak rutinitas keduniawian, melepaskan diri dari kemelekatan duniawi. Puasa ini merupakan ajaran purba yang juga berlaku kepada umat-umat sebelum Nabi Muhammad. Siti Maryam pun berpuasa dengan cara tidak berbicara, Nabi Daud dan Nabi Musa pun berpuasa. Karena itulah, ajaran puasa ini dapat dengan mudah dijumpai dalam agama-agama lain.

Untuk memperingati hari raya Yom Kippur, umat Yahudi melaksanakan puasa 25 jam. Umat Kristiani pun melaksanakan puasa 40 hari yang umumnya dilakukan Rabu Abu sampai Jumat Agung, dengan cara berpantang terhadap ketergantungan duniawi. Begitu pula dengan agama-agama lain.

Sekalipun berbeda teknis dan waktu puasa, tujuan dari puasa adalah sama, yakni menajamkan rohani, mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga cita-cita sebagai manusia yang bertakwa dan suci dapat terwujud melalui ibadah puasa ini.

Iman sebagai kontrol diri
Begitu pula dengan puasa umat Islam. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 183,  “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa”.

Jika mencermati ayat ini, jelas puasa hanya diperuntukkan kepada mereka yang beriman. Tentu, yang tak beriman tak akan memercayainya sehingga tidak melaksanakan puasa. Hanya karena kekuatan imanlah, seseorang rela tidak makan-minum dan berhubungan seks di siang hari.

Orang yang beriman yakin walaupun tanpa ada yang mengontrolnya, niscaya dia akan melakukan perintah itu dengan sepenuh hati. Dalam dunia kerja, keberimanan seperti ini tentu sangat penting, karena sekalipun tanpa kontrol, seseorang dapat menjalankan kerjanya dengan sungguh-sungguh. Dalam konteks penyebaran ujaran kebencian, sekalipun tidak diatur dalam UU, seseorang tentu tidak akan menyebarkan kebencian karena iman yang bersemayam di hatinya.

Dengan iman yang dimiliki, untuk mencapai derajat takwa, umat Islam diperintahkan untuk berpuasa. Secara fikih, berpuasa berarti menahan segala hal yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Hal-hal yang membatalkan puasa itu adalah makan, minum dan berhubungan seks, tiga kebutuhan dasar manusia.

Hal itu mengajarkan kita untuk tidak selalu memuaskan nafsu fisik-ragawi. Nafsu, menurut Al-Ghazali dalam buku Ihya Ulumuddin, harus diatur dan dikendalikan agar nafsu itu mengarah kepada kebaikan, melalui jalan riyadhah dan puasa. Jika terhadap kebutuhan dasar manusia saja harus diatur dan dikendalikan, apalagi terhadap hal-hal yang jelas dilarang oleh Allah, seperti menggunjing, menebar hoaks, dan kebencian.

Tingkatan puasa

Karena itulah, bagi kalangan sufi, berpuasa bukan sekadar menahan nafsu biologis, tetapi juga disertai dengan serangkaian ibadah, riyadhah, dan pemusatan pikiran yang hanya tertuju kepada Allah. Bagi sufi, bukanlah orang yang berpuasa jika hanya menahan haus dan lapar.

Dalam konteks ini, Al-Ghazali mengklasifikasikan orang berpuasa ke dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa orang pada umumnya (shaum al-‘amm), yaitu menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri. Jenis puasa ini hanya menggugurkan kewajiban puasa.

Kedua, puasa orang khash (orang-orang khusus/elite), yakni mengendalikan seluruh anggota tubuh untuk tidak melakukan perbuatan maksiat. Bagi kelompok ini, melakukan dosa kecil apalagi besar akan membatalkan puasa. Prinsipnya, tidak disebut berpuasa bagi mereka yang melakukan dosa, seperti berbohong dan menebar fitnah.

Ketiga, puasa orang khawash al-khawash (orang-orang superkhusus/elite), yaitu menjaga hati dari keinginan duniawi, mengarahkan hati untuk selalu berzikir (ingat) kepada Allah secara totalitas. Setiap saat hatinya selalu ingat kepada Allah, sekalipun ia mengerjakan hal-hal duniawi semuanya diperuntukkan semata untuk Allah.

Ouput takwa
Untuk meyakinkan umat Islam betapa puasa ialah media mendekatkan diri kepada Allah, melatih spiritualitas, melepas kemelekatan duniawi, Allah pun dalam ayat itu menyinggung, puasa ini sudah menjadi tradisi orang-orang (baca: Nabi) terdahulu. Sehingga, melalui ibadah puasa, umat Nabi Muhammad terhubungan dengan tradisi-tradisi umat sebelumnya, karena puasa ini dalam ilmu Ushul fiqh dikategorikan sebagai syar’u man qablana (syariat sebelum era Nabi Muhammad).

Dengan melaksanakan puasa tingkat yang ketiga, khawash al-khawash, output yang bisa diraih umat Islam adalah takwa. Ketakwaan di sini tentu derajat kualitatif manusia di hadapan Tuhan yang terefleksi kehidupan sehari-hari. Al-Quran memberikan indikator kebertakwaan seseorang, sebagaimana yang termaktub dalam surah Ali Imron surat 124-135, yaitu, kepeduliaan sosial baik baik dalam keadaan lapang maupun sempit, mampu menahan amarah dan memaafkan orang lain, dan selalu bertobat atas segala kesalahan yang telah diperbuat.

Kiranya, melalui puasa ini kita diharapkan menjadi hamba yang disebutkan dalam Alquran alladzina yadzkuruunallah qiyaman wa qu’udan wa ‘ala junubihim wa yatafakkaruuna fi khalqi al-samawati wa al-ardl, mereka yang selalu mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, tidur dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. (QS.3: 191). Semoga!

Media Indonesia, 15 Mei 2019

https://mediaindonesia.com/read/detail/235590-takwa-sebagai-output-puasa

Tinggalkan komentar