Liberalisme, JIL dan NU Waria

Suatu ketika, seorang kawan bertanya; apakah NU harus menerima liberalisme atau menolaknya? Terus terang, saya tidak kaget dengan pertanyaan ini, karena pertanyaan yang serupa sudah banyak didiskusikan disejumlah forum. Tak ada keputusan pasti akan hal ini karena ragamnya pemikiran di internal NU dan tak tunggalnya definisi liberalisme.

Pertanyaan ini sebenaranya lahir terkait dengan adanya Jaringan Islam Liberal (JIL). Artinya, ketika seseorang mengajukan pertanyaan tersebut, secara tidak langsung ia menyoal apakan NU harus menerima JIL atau menolaknya. Menyamakan JIL dengan liberalisme tentu saja bukan pandangan yang bisa diterima. Pasalnya, JIL adalah sebuah organisasi, sementara liberalisme adalah sebuah ideologi.

Baik JIL ataupun liberalisme sendiri tidaklah bersifat tunggal. Di internal JIL, terdapat kebhinekaan pandangan tentang banyak hal. Begitu juga dengan liberalisme, mulai dari definisi sampai pada konsep dan paradigmanya adalah jamak. Sayangnya, friksi-friksi dan madzhab pemikiran didalamnya cenderung diabaikan. Baik JIL ataupun liberalisme diyakini sebagai satu kesatuan yang seragam. JIL menjadikan liberalisme sebagai sebuah jangkar pemikirannya. Namun, perlu ditegaskan lagi bahwa liberalisme tak bersifat tunggal. Sementara, liberalisme bukan subordinat dari JIL.

Bagi saya, liberalisme adalah satu paket dengan demokrasi. Karena itu, pertanyaan diatas mestinya juga dihadirkan untuk demokrasi; apakah NU harus menerima demokrasi atau menolaknya? Namun pertanyaan ini tak muncul, karena seakan telah menjadi mufakat bahwa NU compatible dengan demokrasi. Tak pelak, demokrasi dicarikan sandaran teologisnya dalam al-Qur’an. Padahal, baik liberalisme ataupun demokrasi–sebagai ideologi–adalah sesuatu yang asing dalam Islam.

Jika liberalisme dimaknai sebagai kebebasan dalam berpendapat (ijtihad), beragama dan berkeyakinan, maka ini bukan sesuatu yang baru dalam NU. Tradisi ijtihad dalam bahtsul masail sudah berurat akar dalam NU. Apalagi, hadirnya (alm) KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, telah menjadi dinamika historis NU. Hidup Gus Dur telah bersenyawa dengan kontroversi, baik pemikiran maupun sikap-sikap politiknya. Dalam hal pemikiran, Gus Dur telah menyuarakan pribumisasi Islam, dengan menyatakan Assalamu’alaikum bisa diganti selamat pagi/siang/sore. Gus Dur pun dihakimi banyak kiai perihal pandangan-pandangan keagamaannya. Sebagaimana Gus Dur, Ulil Absar Abdallah yang telah menjadi maskot JIL juga dihujat pandangan-pandangannya.

Tapi, mengapa Gus Dur tidak lebih dimusuhi diinternal NU ketimbang Ulil? Yang membedakan Gus Dur dengan Ulil adalah 1) darah biru. Sebagaimana kita tahu, Gus Dur adalah cucu pendiri NU, KH. Hasyim As’ary. Sekontroversi apapun pandangan-pandangannya, kiai-kiai NU yang sangat menghargai guru-gurunya, termasuk KH. Hasyim As’ary, masih sangat menghormati Gus Dur. Ini berbeda dengan darah Ulil yang tak sebiru Gus Dur. Faktor ini cukup determinan dalam membedakan Ulil dan Gus Dur di lingkungan NU. 2) Organisasi jabatan struktur. Pandangan-pandangan Gus Dur banyak menjadi kontroversi ketika ia telah menjabat sebagai ketua umum Tanfidziyah PBNU, sementara kontroversi Ulil muncul dari organisasi yang bernama JIL. 3) Label. Berbeda dengan Ulil, Gus Dur tak pernah menyebut pemikirannya sebagai Islam liberal. 4) situasi politik. Gus Dur hadir disaat Orde Baru dimana kebebasan sangat dibatasi, sementara Ulil muncul di era reformasi. Di era Orde Baru, ideologi-ideologi baru tak bisa muncul. Gerakan-gerakan Islam Transnasional yang berniat mendirikan negara Islam diberangus. Orde Baru menjadikan lanskap pemikiran keislaman Indonesia bersumber dari NU dan Muhammadiyah. Sementara itu, Ulil harus berhadapan dengan ragam ideologi gerakan Islam yang rajin mengkampanyekan negara Islam dan menjadi JIL sebagai musuh utamanya.

Akibat kontroversinya, Ulil walaupun telah mencalonkan diri dalam Muktamar di Makassar kemaren tak masuk dalam struktur PBNU. Tak hanya Ulil, intelektual-intelektual muda NU yang ditengarahi berpikiran liberal juga tersingkir dari PBNU.

Kembali ke pertanyaan diatas, apakah NU harus menerima atau menolak liberalisme? Terhadap hal ini, saya berpendapat bahwa keputusan menerima atau menolak harus di dasari definisi yang jelas tentang apa liberalisme itu. Ini penting, sebab belakangan ini istilah liberalisme sudah terstigma secara sangat negatif.

Lebih dari sekedar keputusan menerima atau menolak, KH. Said Aqil Siradj telah terpilih sebagai ketua umum PBNU. Dulu, ia dikenal sebagai intelektual yang berhaluan liberal. Pemikirannya tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja), berkhutbah di Gereja menjadi salah satu bukti liberal-nya. Namun, dalam Muktamar di Makassar kemaren, ia tampil bukan sebagai sosok yang memperjuangkan ideologi yang banyak ditolah oleh warga NU, liberalisme. Sosok yang demikian ini, masih tetap hadir dalam penyusunan struktur PBNU. Disamping karena tekanan sejumlah pihak, tokoh-tokoh muda NU yang liberal harus bersabar karena tak termaktub dalam kepengurusan PBNU. Karena itu, NU bisa disebut berjenis kelamin dan berkepribadian ganda (waria); satu sisi dipimpin tokoh liberal disisi lain menolak tokoh-tokoh muda NU liberal.

8 respons untuk ‘Liberalisme, JIL dan NU Waria

  1. setahu saya dalam tubuh NU sangat di jaga sikap kebebasan berfikir dan berpendapat, selama pemikiran2nya masih dalam koridor aswaja ya sah2 saja…misalnya pemikiran kang ulil yang ramai di hujat, banyak pemikir2 lain dalam tubuh NU yang pemikiranya lebih liberal daripada kang ulil…misal, us dur, kyai agil siraj, dll.
    NU tak pernah mempermaalhkan perbedaan pemikiran dan pandangan sebatas masih dalam koridor aswaja…

  2. perbedaan tajam antara liberalisme dan demokrasi, demokrasi tidak sama dengan liberalisme. manusia bebas berfikir tapi tidak asal berfikir. artinya dalam berfikir terdapat kerangka bagaimana cara berfikir yang benar. satu lagi tidak semua hasil pemikiran adalah benar, ada rambu-rambu tuhan yang otoritas.

Tinggalkan komentar