Ini Islamku, Bukan Islammu

Pada mulanya, Islam yang saya yakini saat ini bukanlah pilihan saya. Saya tak pernah menghendaki untuk menjadi Islam. Tapi karena terlahir dalam tradisi Islam, walaupun tak pernah dikehendaki, akhirnya saya menjadi Islam. Ini berbeda jika terlahir dalam tradisi Kristen, ataupun agama lainnya. Disinilah barangkali pernyataan John Hick sebagaimana yang dikutip oleh Walter H. Capps dalam Religious Studies, The Making of a Discipline, bahwa if someone is born to Muslim parents in Egypt or Pakistan, that person is very likely to be a Muslim, if to Buddhist parents in Sri Lanka or Burma, that person is very likely to be a Buddhist; if to Hindu parents in India, that person is very likekly to be a Hindu; if to Christian parents is Europe or the Americas, that person is very likely to be Chistian”.

Kendati bukan menjadi pilihan sejak awal, saya menjadi seluruh ritus-ritus yang ada dalam Islam. Disamping shalat wajib, saya juga melaksanakan beberapa shalat sunnah baik siang ataupun malam. Saya juga belajar mengaji dan membaca kitab kuning di pesantren. Tentu, Islam yang saya yakini saat ini telah berubah dan berkembang dari keyakinan islam dimasa lalu, dan akan terus mengalami perubahan dan perkembangan. Begitu pula dengan elemen-elemen dalam Islam. Berikut beberapa point yang penting dikemukakan.

1. Tuhan yang Selalu Berproses

Saat ini saya berkeyakinan bahwa Tuhan bukanlah dzat yang sangat menakutkan, angker, pemarah, otoriter dan esklusif. Melainkan dzat yang sangat ramah, santun, pluralis dan demokrasi. Keyakinan tentang Tuhan yang demikian ini tidaklah tumbuh seketika. Dahulu, bayangan dan keyakinan tentang Tuhan sangatlah berbeda dengan saat ini.

Sebagaimana laiknya anaka yang terlahir dalam dunia pesantren, literatur dan pelajaran saya terima sejak masih belia. Saat itu, saya hanya menyakini Allah sebagai dzat yang sangat angker dan pemarah, hanya menyediakan siksa dan neraka bagi manusia yang tak patuh terhadap-Nya sekaligus memberikan imbalan surga berikut bidadari yang sangat cantik dan menawan, bagi yang menuruti perintah-Nya. Neraka adalah api yang sangat panas. Sementara, surga yang diyakini adalah sebuah tempat dimana air mengalir dibawahnya (seperti yang digambarkan al-Qur’an)

Karena ketakutan terhadap seluruh siksa Allah tersebut, nyaris tak ada kewajiban Allah yang tak dilaksanakan dan seluruh larangannya dijahui. Untuk itulah, saat itu menyakini bahwa agama diluar islam adalah salah dan harus diganjar masuk neraka. Kalangan non-islam harus diajak (dakwah) agar masuk Islam dan memerangi terhadapnya adalah sebuah keharusan. Inilah yang sering disebut para ustadz saya sebagai jihad dan amar ma’ruf nahi munkar.. Ustad juga sering mengutip hadist nabi yang berbunyi “barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan, dan jika tidak mampu maka tegurlah dengan lisan, dan jika ternyata juga tidak mampu maka cukup menegur dalam hati walaupun hal ini merupakan paling rendahnya Iman”.

Disamping itu, Allah yang saya yakini juga adalah dzat yang maha otoriter yang bisa melakukan sesuatu kepada hambanya tanpa mengenal kompromi. Ayat al-Qur’an pun dikutip oleh ustadz saya, bahwa Allah cukup mengatakan “kun” maka apa yang dikehendakinya akan “fayakun“. Ia bisa memberikan bencana kepada manusia dimanapun dan kapanpun, tak terkecuali orang yang selalu menyembah kepada-Nya. Sebaliknya, orang jahat dan ingkar kepada-Nya bisa juga diselamatkan oleh Allah atas kehendak-Nya. Saya pun memaklumi mengapa ada orang jahat yang masih hidup dan orang-orang baik yang dengan cepat meninggal. Mengapa koruptor masih terus eksis, sementara orang-orang ikhlas semakin sulit dicari. Itulah takdir.

Itulah kekuasaan dan otoritarianisme Tuhan yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Dia hadir dalam keyakinan saya sebagai dzat yang sangat menakutkan. Karena itulah, demi mendapatkan surga-Nya dan terhindar dari apa neraka, saya rajin melakukan amal ibadah. Saya melakukan shalat dan ibadah siang dan malam walaupun saya tak pernah mengerti secara detail dan kongkret tentang Allah yang disembah itu. Saya pun tekun dan khusu’ membaca al-Qur’an walaupun tidak pernah mengerti tentang makna dan maksud yang terkandung didalamnya, bahkan asal muasal yang sebenarnya masih juga belum jelas.

Terhadap al-Qur’an, Ustadz saya cuma mengatakan bahwa setiap muslim harus percaya terhadap al-Qur’an karena ia merupakan firman-Nya yang disampaikan kepada Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Juga, firman Tuhan itu sifatnya la shautun wala harfun (tidak bersuara dan tidak berhuruf). Walaupun terus menggelitik saya untuk menayakan maksud ini, saya tidak berani untuk menanyakannya. Karena berulang kali ustadz saya berujar, jangan pikirkan tentang Tuhan tapi pikirkanlah ciptaan-Nya (wala tafakkaru fiy dzatillah, tafakkaru fi khalqillah). Saat itu, ada semacam ketakutan akan siksa neraka untuk mempertanyakan tentang Allah dan hal-hal yang terkait dengan-Nya.

Itulah beberapa keyakinan saya tentang Allah yang sangat otoriter dan angker itu. Keyakinan ini terus diyakini sampai saya dibangku SMU. Ketika hendak naik ke kelas dua, ada suatu peristiwa yang menggugat keyakinan diatas. Saat itu, saya membaca catatan harian Ahmad Wahib. Catatan harian aktivis HMI itu terus terang membawa saya pada keberanian untuk mempertanyakan perihal keyakinan saya kepada Allah dan al-Qur’an. Kata-kata Wahib yang masih terekam dalam pikiran saya sampai saat ini adalah “ini akalku yang berkata, akal bebasku yang meronta-ronta tanpa didasari ketakutan akan dimarahi Tuhan”… Tuhan tidaklah kebal dari sorotan kritik.. Saya mulai mempertanyakan keberimanan saya kepada Allah serta membawa kepada kebingungan yang akut. Ada banyak pertanyaan dan keraguan tentang Tuhan ketika membaca buku itu. Benarkah apa yang saya sembah ini adalah Tuhan? Ataukah hanya sekedar imajinasi tentang Tuhan, bukan Tuhan yang sebenarnya?

Kini, keangkren dan otoritarianisme Tuhan yang saya yakini sejak awal telah hilang menjadi sosok Tuhan yang sangat baik, ramah, santun dan demokratis. Saya tidak mengerti, apakah saya sedang mengganti Tuhan ataukah sekedar menggeser asumsi tentang Tuhan. Karena, bagaimanapun, masih ada kekhawatiran tentang Allah yang saya yakini saat ini, apakah Allah yang sebenarnya, ataukah hanya sekedar hasil cipta karya pikiran saya semata.

Walaupun demikian, proses keberimanan saya kepada Tuhan terus berkembang dan selalu berproses untuk menjadi. Saat ini, saya percaya bahwa ada suatu dzat diluar kemampuan manusia yang saya yakini sebagai Tuhan. Barangkali kalau Rudolf Otto menyebutnya misteryum Fascinans et Tremendum, atau Joachim Wach mengistilahkan ultimate reality, dan penyebutan-penyebutan lainnya. Dimasa-masa mendatang, keyakinan kepada Tuhan dalam model yang berbeda bukan hal mustahil akan terjadi.

 2. Islamku

Jika model keyakinan saya kepada dzat yang konon menurunkan Islam demikian, maka Islam yang saya yakini juga mengalami proses yang sangat panjang dan tak berujung.

 Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa saya tak pernah berniat untuk menjadi muslim. Karena orang tua dan lingkunganlah yang telah membentuk saya menjadi Islam. Karena terlahir secara kebetulan tanpa melalui relfeksi dan pilihan, islam yang saya anut adalah harus “sesuai” dengan apa yang keyakinan orang tua dan lingkungan, bukan Islam yang sebenarnya (?)

Mula-mula saya tidak mengerti islam itu sebagai agama. Saat masih kecil, saya tidak pernah membayangkan akan bertemu dan bergaul dengan non-muslim. Saya pun berpandangan secara eksklusif dan kaku. Karena yang diterima disisi Allah cuma Islam, maka selain Islam harus disingkirkan, begitulah keyakinan saya tentang agama lain. Untuk sejak, sejak awal saya bercita-cita untuk menjadi kiai yang bisa mendakwahkan islam ke segenap penjuru nusantara, dan mendapatkan surga diakhir kelak nanti.

Akan tetapi, seiring dengan proses cara keberislaman saya pun berubah. Kini, saya memandang bahwa Allah tidak hanya menurunkan islam, begitu pula yang diterima disisi-Nya. Orang-orang yang berbuat, kendati tak memeluk islam secara formal, bukan hal mustahil juga mendapatkan surga. Begitupula orang islam. Walaupun telah membaca syahadat dan melakukan perintah-Nya bukan tidak mungkin justru mendapat siksa dari Allah.

Keyakinan yang saya nilai inklusif bahkan pluralis ini muncul melalui proses yang sangat panjang. Keraguan terhadap Allah telah membawa saya pada era tanpa Tuhan, tanpa ada ibadah. Sewaktu saya belajar di Jogja, dengan berani saya membawa makanan ke ruang kelas pada bulan Ramadhan. Tak pelak, saya mendapatkan nilai jelek dari perilaku tidak sopan tersebut. Saat itu, saya yakin bahwa Tuhan adalah rekaan manusia semata dan tak akan pernah ada.

Namun, keyakinan yang demikian itu secara perlahan berubah. Begitu pula dengan ritual-ibadah yang saya lakukan. Saya mulai kembali kepada keyakinan awal. Tetapi, pada hal-hal tertentu ada banyak perbedaan. Sosok Tuhan, dan cara beribah dan pemosisian saya dengan Tuhan telah mengalami perubahan yang mendasar dari sebelumnya. Dan, hal ini akan terus berubah tanpa henti.

Karena hal yang subtansial dalam agama (Tuhan) telah saya pertanyakan ulang, terhadap elemen-elemennya pun demikian. Hari akhir yang dibayangkan sebagai hari pengadilan kepada Tuhan sesekali tidak lagi dipercaya. Tak ada hari akhir. Manusia akan terus tumbuh dan berkembang hingga bumi ini mengalami kerusakan yang sangat parah, tapi bukan kiamat.

3. Hari Akhir dan Nabi

Begitu pula dengan nabi. Muhammad yang diyakini saat kecil sebagai nabi terakhir juga tak luput dari kritik. Bagaimana mungkin Muhammad bisa menangkap firman Tuhan yang menjadi al-Qur’an jika sifatnya adalah la shautun wala harfun. Bukankah al-Qur’an hanyalah cipta karya Muhammad untuk menghegemoni umat manusia. Muhammad juga bukanlah penutup nabi, karena dimasa-masa mendatang akan lahir nabi baru yang akan terus melakukan pembaharuan.

Namun, seluruh pernyataan-pernyataan yang muncul disaat masa kegelisahan itu secara perlahan mulai terjawab seiring dengan membaca sejumlah buku dan refleksi yang dilakukan disepanjang malam.

Sampai saat ini, saya percaya kepada Allah dan seluruh ajaran-Nya. Tetapi, kepercayaan saya bukanlah karena orang tua atau lingkungan sebagaimana dimasa lalu, melainkan sebuah kepercayaan yang berdasarkan pada pemikiran dan refleksi kritis, rasional dan melelahkan. Saat ini, masih ada satu tanya yang belum terjawab, jika cara keimanan saya seperti saat ini, apakah saya masuk dalam kategori Islam sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad? Wallahu ‘a’lam

Dimuat di Majalah PESAN.edisi bulan ini

3 respons untuk ‘Ini Islamku, Bukan Islammu

  1. Islam bukan “agama” . islam harusnya dimaknai sebagai sebuah sistem tata kelola kehidupan dan bukan hanya penyembahan. Ketika kita berpikir bahwa islam hanya tentang penyembahan maka saat itu pula kita tidak lagi menjadi pengikut muhammad tetapi pengikut para imam dan para ahli ahli tafsir serta para ahli fiqih. Semoga setelah 7 tahun anda telah menemukan Islam versi asli rasullah Muhammad SAW.

Tinggalkan komentar