Melampaui Pluralisme Teologis Menuju Civic Pluralism

“Many faiths all claiming to be true”, demikian pernyataan John Hick (1990: 109). Benar, setiap agama senantiasa mengklaim benar, bahkan paling benar ketimbang yang lain. Klaim inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya konflik antar agama. Karena itulah, keragaman ini oleh Harold Coward (1985) dinilai sebagai problem dan tantangan terbesar umat manusia. Tak pelak, upaya mencari titik temu sebagai upaya menciptakan perdamaian antar agama terus dilakukan, termasuk melalui gagasan pluralisme agama. Kendati istilah pluralisme tak bermakna tunggal (Riis Ole: 1999), tetapi istilah ini dapat dimengerti sebagai respon, pengakuan, dan sikap aktif untuk menjaga keragaman, tanpa disertai truth claim secara sepihak, sehingga bisa hidup bersama dalam keragaman secara damai.

Salah satu perspektif untuk mencari titik temu antar agama dilakukan dalam ruang teologis (theological pluralism). Adanya pluralitas agama ini merupakan kombinasi (Legenhausen: 1997) antara respon manusia terhadap the One (Hick: 1990)dan manifestasi Tuhan (Nasr:1993). Dalam perspektif ini, setiap agama diyakini memiliki kesamaan—atau sekurang-kurangnya kesejajaran—teologis. Bahwa setiap agama sama menuju the Ultimate Reality/ sensus nominus, mengajarkan kebaikan, keadilan dan sebagainya. Singkatnya, pada level esoterik/transenden semua agama satu (the transcendent unity of religion), dan beragam dilevel eksoterik.

Pertanyannya, apakah penemuan titik temu agama-agama mampu menyelesaikan konflik antar agama? Bukankah sebuah konflik tak pernah berakar tunggal? Dan, bukankah yang sering jadi problem adalah hal-hal yang eksoterik-artifisial, tidak hanya antar agama tetapi juga intra agama?

Memang, pluralisme teologis telah memberikan konstribusi dalam menemukan titik temu antar agama. Namun demikian, ia tidak langsung ke jantung soal di masyarakat. Yang menjadi pokok soal hubungan antar agama dan intra agama bukan pada hal-hal yang universal-esoterik, melainkan kepada hal-hal partikular-eksoterik dimana theological pluralism tak banyak berbuat apa-apa. Disini, perlu disadari bahwa gagasan pokok pluralisme adalah hidup bersama secara damai dalam keragaman.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, keragaman agama/keyakinan tak hanya menghadirkan truth claim, melainkan yang kerap terjadi saat ini adalah—apa yang telah disebut Diana L. Eck (2007)—the confusion of arena of discourse. Bahwa penolakan terhadap teologi tertentu tak jarang berbuntut kepada penolakan sebagai warga negara. Contoh yang paling nyata terhadap hal ini adalah keberadaan Ahmadiyah dan sejumlah aliran-aliran non-mainstream. Perbedaan keyakinan satu kelompok dengan kelompok lainnya menjadi justifikasi untuk menolak sebagai warga negara dengan melakukan diskriminasi dan kekerasan.  Kekerasan yang menimpa Ahmadiyah terjadi secara massal disejumlah tempat, seperti di Tasikmalaya (19/12/2007), Sukabumi (25/4/2008), Bogor (30/4/2008), Makassar (20/6/2008), dan lain sebagainya.

 

Civic Pluralism [1]

Mengigat adanya “kekacauan arena” ini, sudah saatnya mengembangkan gagasan pluralisme dari theological pluralism menuju civic pluralism. Ini penting dilakukan karena teologi/agama hanyalah satu dari beragam identitas warga negara. Juga, sejauh ini pluralitas agama/keyakinan senantiasa direspon secara teologis—dimana vonis sesat atau tidak menjadi taruhannya—dan pendekatan struktural

Civic pluralism (Zainal Abidin Bagir, 2009) tidak melihat keragaman dalam perspektif teologis dimana suatu keyakinan tertentu bisa divonis iman-kafir, melainkan ditempatkan dalam ruang politik yang terkait dengan hubungan pemerintah dan rakyatnya, dan relasi-relasi sosial dalam masyarakat. Karena itulah, civic pluralism tidak memberikan privilege terhadap suatu komunitas tertentu. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat harus sama-sama berperan aktif dalam menciptakan ruang-ruang dialog yang sehat dan dapat diakses seluas-luasnya oleh seluruh warga negara, sehingga tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara secara rukun, damai dan partisipatif. Disamping itu, civic pluralism juga mengakui keragaman identitas, dimana agama hanyalah sebuah identitas sebagaimana identitas lainnya, seperti etnisitas, ras, gender, bahasa dan sebagainya. Akibatnya, tak ada satu orang pun yang memiliki satu identitas. Seseorang yang beridentitas Ahmadiyah, pada saat yang sama juga memiliki identitas sebagai, misalnya, orang jawa, dan laki-laki atau perempuan. Karena itulah, kategorisasi mayoritas-minoritas menjadi tidak berlaku.

Pemosisian pluralitas agama ataupun lainnya dalam landscape civic pluralism akan menghindarkan dari perdebatan teologis yang melelahkan, tetapi justru menuntut adanya ketegasan kebijakan pemerintah dalam mengelolah keragaman tersebut. Ini penting, karena titik temu teologis bisa saja dijumpai tetapi kekerasan masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu dan bahkan dilakukan negara melalui politik pembiaran akan tetap terjadi. Sebaliknya, kendati tak dijumpai titik temu teologis masing-masing agama, hidup rukun-damai sesama warga negara dalam ragam identitas tetap bisa terjadi.

Dalam hemat saya, theological pluralism bukan saja hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit-agawaman karena titik temu terjadi pada esensi agama belaka, tetapi juga—di Indonesia—melahirkan kontroversi yang tak berkesudahan baik di internal NU ataupun di komunitas agama lainnya bahkan telah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Fatwa haram ini seharusnya tidak terjadi, akan tetapi wacana pluralisme di tanah air telah dimaknai sebagai penyamaan agama (relativisme, Buster G. Smith, 2007). Padahal, pluralisme melampaui relavitisme. Eck (2001:71) menandaskan “Pluralism is not simply relativism. It does not displace or eliminate deep religious commitments or secular commitments for that matter. It is, rather, the encounter of commitments”

Dengan menempatkan agama/keyakinan sebagai identitas sebagaimana identitas lainnya seperti gender, ras, etnis, bahasa dan sebagainya, ini akan memberikan keuntungan; yakni negara tak memberikan privilege terhadap komunitas tertentu karena keyakinan adalah urusan privat setiap warga negara (sekularisme, Berger, 1994; 155), dan juga terlepas dari vonis sesat-menyesatkan terhadap komunitas tertentu yang berbeda dengan mainstream. Yang menjadi tugas negara/pemerintah bukan lagi menentukan apakah suatu keyakinan tertentu sesat secara teologis, tetapi apakah komunitas tertentu—apapun identitasnya—melanggar konstitusi, hukum dan peraturan yang ada. Karena itulah, negara tak memiliki wewenang untuk mengintervensi keyakinan tertentu, tetapi justru menciptakan ruang-ruang dialog antar komunitas agama, etnis, ras yang bisa diakses oleh seluruh warga negara dengan membuat peraturan-peratuan yang mengatur hubungan antar komunitas tersebut (Pluralist polity dalam istilah Martin Marty). Ke arah inilah saya kira negara/pemerintah mesti bergerak dalam mengelola keragaman negeri ini. Pasalnya, civic pluralism yang “tak menganggu” suatu teologi tertentu, saya kira lebih muda diterima dan dikelola dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [Wallahu ‘a’lam].


[1] Sebenarnya, civic pluralism sendiri tak memiliki definisi tunggal. Tom Soutphommasane (2005), misalnya, menempatkannya sebagai satu model dari multikulturalisme. Ini berbeda dengan Eck (2007) yang membicarakan pluralisme pada tiga level; akademis, teologis dan civic.  Dalam hemat saya, civic pluralism bukan sekedar penghargaan terhadap keragaman identitas dan hak-hak sivik warga negara—seperti agama, ras, gender dan orientasi seksual—yang diletakkan dalam kerangka politik, tetapi juga ada engagement dan perlindungan hukum terhadapnya.

8 respons untuk ‘Melampaui Pluralisme Teologis Menuju Civic Pluralism

  1. negara memang tak selayaknya “menggaruk-garuk” agama.sayangnya kadang tatkala negara diam ada saja para penyembah Agama yang ngotot menghakimi saudaranya sendiri.
    bagaimana kita sebaiknya bersikap terhadap orang-orang ini??

    salam hangat,anak filsafat 2005 M.Azhari AF

  2. agama tidak sepenuhnya urusan privat, tapi juga urusan tuhan. seandainya agama hanya urusan privat untuk apa tuhan menurunkan para nabi, rosul dan kitab. toh mereka bisa mencari tuhan sendiri dan itu semuanya legal. tapi ternyata tidak begitu to !!
    semua agama menjelaskan ada balasan di hari kemudian, yang tidak seiaman pasti masuk dalam jurang siksaan dan yang seiman ditimbang dulu perbuatannya. tempat balasan membuktikan bahwa urusan agama ternyata tidak sepenuhnya privat.
    tuhan menjelaskan perangkat, tekhnis dan hakikat kebenaran dalam agama sesuai jalur yang benar.
    negara berhak melindungi segenap rakyat dibawah kekuasaannya, tapi tugas ini tidak putus sampai disini, negara juga harus meluruskan yang keliru. disamping itu mereka juga sebagai kholifah yang tindak tanduknya akan dipertanggung jawabkan kelak.

    1. mengerti maksudnya privat yang saya maksud gak?
      maksudnya, kalaupun toh ada perbedaan antar pemeluk agama ya tidak perlu di persoalkan apalagi dimusuhi, karena semuanya akan dipertanggungjawabkan sendiri di hadapan Tuhan.

Tinggalkan komentar